Membandingkan Metode Ilmiah dan Nonilmiah: Apakah Perbedaannya?


Selamat datang kembali sobat Caravel! Ini adalah postingan pertama pada kategori research. Alasan mimin Caravel menulis artikel seputar dunia penelitian karena tidak menutup kemungkinan masih ada beberapa dari kita yang masih sedikit kebingungan dalam dunia penelitian, terutama bagi beberapa dari kita yang sedang berada dalam tugas akhir skripsian. Nah, di artikel sekarang, kita akan mempelajari tentang metode ilmiah dan nonilmiah termasuk bagaimana kedua hal tersebut berbeda. Artikel ini akan menjadi pengetahuan dasar yang penting sebelum kita masuk ke dunia penelitian.


Apa itu Metode Ilmiah dan Nonilmiah?

Metode ilmiah dan nonilmiah adalah dua metode berbeda yang digunakan untuk mengeksplorasi dunia kita. Pertama, metode ilmiah adalah prosedur sistematis yang berfokus pada pengumpulan data dengan menggunakan observasi kuantitatif dan kualitatif, lalu menyesuaikan data tersebut secara ilmiah untuk menetapkan kebenaran umum. Lebih lanjut, Tehamy et al. (2020) mendefinisikannya sebagai langkah sistematis untuk menghasilkan sebuah pengetahuan dengan cara mengamati, mempertanyakan, membentuk dan menguji dugaan sementara, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengembangkan teori. Nonilmiah, di sisi lain, merupakan pendekatan yang biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah melalui logika, intuisi, pengalaman pribadi atau kepercayaan pribadi. Singkatnya, Kumari (2022) menerangkan bahwa metode nonilmiah adalah penelitian yang dilakukan tanpa cara-cara yang sistematis dan tanpa dasar-dasar yang ilmiah.



Metode Nonilmiah

1. Intuisi/Kepercayaan

Misalnya, si A memiliki peliharaan seekor harimau. Dari sejak kecil, peliharaannya tersebut selalu dirawat sampai si harimau terkadang memeluk si A ketika si A pulang ke rumah. Mengamati hal tersebut, si A percaya bahwa peliharaannya sangat sayang padanya. Apakah kepercayaan si A tersebut dapat dijadikan sebuah pengetahuan dasar untuk kita bahwa peliharaannya sayang kepada si A? Tidak, seberapa kuat pun kepercayaan atau intuisi kita terhadap sesuatu, bisa saja menjadi salah. Misalnya lagi, terjadi kasus pada si B yang sama merawat harimau dari kecil dengan perlakuan yang sama seperti si A, yakni si B menganggap harimaunya sayang kepada dia hingga pada suatu saat dia meninggal dibunuh oleh peliharaannya sendiri.


2. Persetujuan/Survey

Melanjutkan kasus di atas, ketika sudah terjadi 2 kasus yang kontradiktif dengan anggapan dasar yang sama, yakni harimau sayang kepada pemiliknya, kemudian kita mengadakan survey untuk mengambil persetujuan mana yang lebih setuju dengan kasus si A bahwa rasa sayang harimau kepada pemiliknya itu memang ada dan yang lebih setuju dengan kasus si B bahwa rasa sayang harimau terhadap pemiliknya itu tidak ada. Dengan mengambil hasil survey atau persetujuan yang banyak belum tentu menjadi dasar pengetahuan yang kuat untuk kita. Sederhananya, yang banyak tidak selalu berarti benar sepenuhnya. Contoh lainnya, yaitu banyak orang-orang terdahulu percaya bahwa bumi itu datar sampai akhirnya terbukti salah bahwa bumi itu sebenarnya bulat.


3. Otoritas

Masih kasus sama dengan yang di atas, misalnya, kita sudah mengetahui bahwa survey saja tidak cukup, kemudian teman kita memanggil seorang ahli ilmu hewan dari suatu lembaga untuk menemukan kebenaran yang terjadi dari kasus hewan peliharaan membunuh pemiliknya di atas. Kemudian si ahli ilmu hewan tersebut menyatakan bahwa si B tidak menyayangi peliharaannya sehingga suatu waktu diterkam oleh peliharaannya sendiri. Apakah kita akan percaya langsung kepada ahli ilmu hewan tersebut? Tidak, singkatnya, kita harus skeptis apalagi jika si ahli hewan tersebut dibayar tinggi oleh teman kita untuk menyelidiki kasus tersebut. Lebih jelasnya, bisa saja teman kita yang lain mengundang ahli ilmu hewan yang lain dengan pendapat yang berlawanan dengan ahli ilmu hewan yang pertama tadi.


4. Observasi

Seterusnya, observasi. Sebenarnya, observasi merupakan fondasi pengetahuan yang lebih baik daripada metode yang sebelumnya, tetapi terkadang kita mengamati sesuatu secara selektif. Misalnya, sebelum kejadian si B dibunuh oleh harimau, salah satu teman kita mengamati setiap harinya bahwa harimau si B setiap merasa lapar terlihat ingin menerkam siapa saja yang ada di depannya. Kemudian, teman kita tersebut membuat sebuah bukti dari hasil observasi tersebut bahwa harimau peliharaan si B tidak sayang kepada pemiliknya. Namun, akibat observasi yang selektif, teman kita tersebut tidak mengamati dan menyadari bahwa peliharaan harimau si A juga agresif saat kelaparan dan siap menerkam siapa saja yang di depannya. Dari hasil tersebut, kita belum bisa menyimpulkan bahwa peliharaan si B tidak sayang dengannya. Jadi, di sini kita harus hati-hati dalam melakukan observasi juga.


5. Logika

Ketika kita mencoba berlogika bahwa harimau = hewan karnivora, harimau = mamalia, maka apakah hewan karnivora = mamalia? Ketika kita berlogika, kita harus hati-hati terhadap kekeliruan berlogika atau biasa disebut logical fallacy. Kemampuan berpikir logis ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak jarang juga beberapa dari kita ada yang masih keliru dalam menarik suatu kesimpulan.



Metode Ilmiah

Setelah mengetahui contoh metode nonilmiah di atas yang mana membingungkan kita untuk membuktikan hasil dari suatu kasus. Maka, kita memerlukan metode ilmiah untuk membuktikan kebenaran suatu kasus dengan observasi yang sistematis dan penerapan suatu logika yang konsisten alias tidak berubah-ubah. Berikut merupakan prinsip-prinsip dan contoh dari metode ilmiah.


1. Dapat Diuji secara Empiris

Prinsip metode ilmiah yang pertama adalah kita dapat mengujinya secara empiris. Di sini, kita mengumpulkan data empiris atau fisik hasil dari observasi yang mana akan menjawab hipotesis penelitian kita apakah mendukung hipotesis kita atau sebaliknya. Misalnya, kembali lagi kepada kasus harimau di atas. Kita memunculkan hipotesis bahwa harimau milik si A sangat sayang kepadanya. Kemudian, kita akan mulai berpikir bagaimana cara mengetahui bahwa si harimau sangat menyayangi pemiliknya dan kita tidak dapat bertanya kepada si harimau tentang perasaannya. Dalam hal ini, kita setuju bahwa harimau tidak dapat mengungkapkan perasaannya layaknya seperti manusia, maka tidak ada yang perlu diobservasi lagi di sini karena hipotesis kita tidak dapat diuji secara empiris.


2. Dapat Diulang

Selanjutnya, sebuah hipotesis bisa dibenarkan jikalau hasil dari pengujian bisa diulang dengan hasil yang sama. Jika hasil penelitian dengan hipotesis yang diterima terjadi satu kali atau hanya beberapa kali saja. Maka, hasil dari penelitian tersebut bisa jadi hanya sebuah kebetulan saja. Sebuah hipotesis akan diterima kebenarannya secara valid jika hasil studinya sama setelah dilakukan berulang-ulang. Di sini, kita benar-benar harus menerapkan studi dengan prosedur yang seperti studi yang pertama kalinya dilakukan. Misalnya, kita memunculkan hipotesis harimau yang sangat sayang kepada pemiliknya, lalu kita mengobservasi dan menemukan bahwa di minggu pertama pemilik berpura-pura tercebur di sebuah danau dan si harimau langsung menyelamatkannya. Apakah hipotesis tersebut dapat diterima langsung? Sebuah studi akan lebih masuk akal jika diulang berkali-kali hasilnya sama. Dalam kasus ini, di minggu kedua, ketiga dan selanjutnya hasilnya sama maka hipotesis ini dapat diterima. Kemudian, di minggu ke-6, misalnya, kita melakukan hal yang sama lagi dan ternyata si harimau tidak menolong dan membiarkan si pemiliknya tercebur. Apakah hipotesis tersebut otomatis ditolak? Tidak juga, mungkin saja ada beberapa prosedur yang tidak sama dengan studi sebelumnya di minggu ke-5, 4, 3, 2 dan 1. Jadi, menerapkan prosedur yang sama juga merupakan hal yang penting dalam penelitian.


3. Objektif

Prinsip objektivitas bertujuan untuk memberikan lampu hijau kepada para peneliti lainnya untuk melakukan studi yang sama tanpa perlu ada peneliti aslinya. Jadi, prinsip ini maksudnya siapa saja yang melakukan penelitian ini seharusnya akan mendapatkan hasil yang sama seperti studi pada pertama kalinya karena didasarkan pada prosedur yang sama seperti studi sebelumnya. Intinya, segala asumsi, konsep, dan prosedur harus jelas dan tidak meninggalkan hal yang bersifat subjektif. Misalnya, si A melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa harimaunya lebih sayang kepadanya daripada harimau milik si B. Namun, si A tidak memberitahu si B tentang penelitian ini. Di sini, pengukuran rasa sayangnya menjadi subjektif, bahkan jika observasi tersebut sudah sistematis juga, ini dikarenakan hasilnya akan bergantung pada siapa yang mengamatinya. Selama tidak ada diskusi dan persetujuan jelas tentang apa yang dimaksud rasa sayang di sini dan apa yang tidak termasuknya, maka pengukuran untuk rasa sayang harimau terhadap pemiliknya tidak terdefinisikan secara objektif.


4. Transparan

Selanjutnya, prinsip dari metode ilmiah, yaitu transparan. Ini artinya siapapun dapat mengulang studi yang sudah dilakukan sebelumnya dan siap dengan datangnya dukungan penelitian baru atau bahkan sebaliknya, yakni kritik atau bantahan dari studi tersebut. Lebih jelasnya, peneliti harus mempublikasikan asumsi apa yang dibuatnya, bagaimana konsep-konsep didefiniskannya, prosedur apa saja yang digunakannya, dan informasi apa saja yang relevan untuk melakukan penelitian kembali dengan hasil yang akurat.


5. Dapat Dibantah

Prinsip ini sangat penting karena sebuah penelitian baru dapat dilakukan jika sebuah hipotesis dapat dibantah. Jika kita tidak dapat membayangkan data apa yang dapat membantah hasil penelitian kita, maka hipotesis dari penelitian tersebut sudah tidak dapat dibantah lagi. Misalnya, kita menyelidiki beberapa orang yang sangat religius dan percaya bahwa kita akan dibangkitkan kembali setelah meninggal nanti di alam lain. Maka, dengan hipotesis "adanya kebangkitan setelah kematian nanti di alam lain" kita harus memunculkan pertanyaan yang kontradiktif terhadap hipotesis tersebut, yakni "apa bukti yang meyakinkanmu bahwa apa yang kamu percayai itu salah?". Jika tidak ada bukti sama sekali yang dapat diterima untuk membantah hipotesis tersebut, maka tidak ada yang perlu diperdebatkan kembali karena ini hanyalah kepercayaan dan sains juga belum dapat membenarkan hipotesis tersebut, yakni menjangkau apakah ada kebangkitan lagi setalah kematian nanti di alam lain.


6. Konsisten

Terakhir, sebuah hipostesis harus konsisten secara logika. Lebih jelasnya, selama proses penelitian, tidak ada asumsi yang justru berlawanan dengan hipotesis penelitian. Selain itu, kesimpulan dari hasil pengamatan kita harus konsisten juga. Ini artinya baik hipotesis itu terbukti benar atau tidak benar yang terpenting adalah kekonsistenan di dalam prosesnya. Misalnya, si A meneliti rasa sayang harimau peliharaannya kepadanya. Kemudian, dia mengujinya dengan pura-pura tercebur ke kolam, lalu si harimau menolongnya di hari pertama. Di hari kedua, ternyata peliharaannya tidak menolongnya saat si A pura-pura tercebur. Di sini, si A membuat logika baru untuk membenarkan hipotesis penelitiannya, yakni si A berasumsi bahwa sebenarnya peliharaannya tersebut sangat menyayanginya hanya saja harimaunya merasa sudah tahu dengan kejadian kemarin dan hanya tipu daya saja. Ini merupakan bentuk dari ketidakonsistenan demi membenarkan hipotesis kita. Ini juga membuat studi menjadi tidak dapat dibantah karena bagaimanapun juga si A akan membenarkan apa yang dia percaya baik harimau itu berenang menolong si A ataupun tidak.


Itulah untuk postingan dengan topik riset untuk pertama kalinya. Semoga bermanfaat dan silahkan diskusikan jika memang ada yang memang belum jelas dan perlu didiskusikan bersama di kolom komentar bawah. Bye for now! 😇


Referensi


Kumari, G. (2022). What is the Difference Between Scientific and Non-Scientific Research. Compare the Difference Between Similar Terms. https://www.differencebetween.com/what-is-the-difference-between-scientific-and-non-scientific-research/


Scholten, A. Z. (n.d.). Quantitative Methods. Coursera. https://www.coursera.org/learn/quantitative-methods


Tehamy, A. G., AlMoslemany, M. A., Ahmed, T. A., & El-Badri, N. (2020). Application of the Scientific Method in Stem Cell Research. In Regenerative Medicine and Stem Cell Biology (pp. 347-361). Springer, Cham.

No comments:

Post a Comment

Pages