Terungkap! Mengapa Motivasi Hanyalah Omong Kosong?

 

Selamat datang, Sobat Caravel! Di postingan sebelumnya, saya telah membahas tentang bagaimana kerja telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup kita. Kali ini, saya akan membahas topik yang tak kalah penting, yaitu motivasi. Sejak kecil kita telah belajar tentang konsep motivasi dan bahkan di dunia perkuliahan, kita dipaparkan dengan lebih mendalam mengenai konsep ini. Mengapa? Karena motivasi dianggap sangat krusial dalam memahami psikologi manusia. Namun, tahukah Sobat, walaupun terdapat teori dan pembahasan ilmiah mengenai motivasi, kita tetap harus berhati-hati karena teori tersebut masih bisa dibantah. Dalam artikel ini, saya akan mengungkapkan konsep motivasi yang telah beredar di masyarakat dan membahas kebenaran yang tak pernah diungkap sebelumnya. Siap untuk mengeksplorasi topik ini bersama saya?


Teori Motivasi

Sebagai manusia, kita sering mengenal motivasi sebagai kekuatan penggerak dalam mencapai tujuan hidup. Namun, kita harus memahami bahwa motivasi sebenarnya hanya ada dalam pemikiran manusia dan bisa hilang begitu saja. Sebuah filosofi dari René Descartes mengatakan "I think therefore I am", yang mengindikasikan bahwa keraguan tentang keberadaan kita sebenarnya membuktikan bahwa kita itu ada. Begitu juga dengan berasumsi bahwa "termotivasi" itu ada, maka secara tidak langsung kita percaya bahwa "tidak termotivasi" juga sebagai lawan katanya, ada.


Mungkin kalian bertanya, apa yang menjadi permasalahannya?


Di sini, kita menghadapi permasalahan besar ketika menggunakan kata "termotivasi" dan "tidak termotivasi", karena hal ini memprioritaskan perasaan di atas pikiran. Apakah ini berbahaya? Seperti yang pernah saya bahas sebelumnya, memprioritaskan perasaan terlebih dahulu dapat berdampak negatif, seperti memberikan uang kepada pengemis hanya karena kasihan tanpa mempertimbangkan akibatnya. Orang yang memprioritaskan perasaan bisa berargumen bahwa yang penting adalah amal dan kasihan, sementara orang yang berpikir terlebih dahulu akan mempertimbangkan lebih matang, karena banyak kasus pengemis yang sebenarnya orang kaya.


Dalam konsep motivasi, kita memupuk perasaan di atas pikiran, padahal motivasi hanya bertahan sementara. Jika kita hanya mengandalkan motivasi, kita akan diserang oleh kekurangan motivasi suatu saat nanti. Sebaliknya, jika kita menggunakan konsep "disiplin", kita memprioritaskan pikiran di atas perasaan. Meskipun masih ada lawan kata "tidak disiplin", kata "tidak disiplin" itu sendiri sudah termasuk dalam konsep yang melibatkan perasaan. Di sisi lain, disiplin mengandalkan konsistensi dan ketekunan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, tanpa bergantung pada perasaan.


Jadi, mari kita adopsi konsep disiplin, yang mengandalkan pikiran yang lebih stabil dan konsisten, dan tidak mudah diserang oleh perasaan negatif. Dengan disiplin, kita dapat mencapai tujuan dengan lebih terstruktur dan efektif, tanpa tergantung pada motivasi yang hanya sementara. Inilah jalan menuju produktivitas sebenarnya.


Displin? Bagaimana Kalau Overload dan Pingsan?

Pernahkah kita bertanya-tanya, apa yang terjadi jika beban kerja terlalu banyak dan akhirnya merusak kesehatan kita, seperti pingsan karena tubuh tidak mampu menahannya lagi?


Perlu kita pahami bahwa memprioritaskan pikiran bukan berarti mengabaikan kesehatan kita. Justru, dengan memprioritaskan pikiran, kita dapat mempertimbangkan apakah kerja keras kita sudah mencapai batasnya atau masih bisa dilanjutkan. Contohnya, seperti sebuah gawai yang mengonsumsi baterai setelah bekerja keras, dan ketika baterai habis, kita harus meluangkan waktu untuk mengisi ulang. Demikian juga dengan hidup kita, mengendalikan pikiran bukan berarti mengabaikan waktu istirahat, karena istirahat juga merupakan bagian dari pengendalian pikiran dan ini merupakan salah satu bentuk dari produktivitas juga.


Berbeda dengan individu yang memprioritaskan perasaan terlebih dahulu, ketika baterai mereka masih sekitar 70%, tetapi karena mereka terlalu dipengaruhi oleh perasaan, maka yang terpikirkan oleh mereka hanyalah kesenangan dan istirahat semata. Namun, mereka yang berpikir lebih jauh tahu kapan dan di mana harus beristirahat. Untuk menerapkan prinsip ini, kita harus paham akan pengendalian pikiran sebagai bagian dari pekerjaan kita, dan itulah yang membedakan seseorang yang profesional dalam mengendalikan pikirannya.


Ketika sedang berlibur, pikiran mereka fokus pada aktivitas liburan sebagai cara untuk memulihkan energi sebelum kembali bekerja. Namun, berbeda dengan mereka yang berlibur tanpa tujuan jelas dan hanya ingin bersenang-senang setiap saat. Bahaya yang mungkin terjadi adalah liburan yang tidak terkendali dan dapat memakan banyak uang, karena tidak berdasarkan pikiran yang sehat. Oleh karena itu, mengendalikan pikiran dan mengatur waktu istirahat adalah kunci penting untuk menjaga keseimbangan dalam hidup kita.


Sebenarnya, mereka yang terlalu terbebani hingga pingsan, hal itu disebabkan karena mereka lebih mengandalkan perasaan daripada pikiran. Jika mereka memprioritaskan pikiran, maka akan menyadari bahwa kelebihan beban akan merugikan dan bahkan mengganggu produktivitas di masa depan. Seperti yang disampaikan oleh Aristoteles, seorang filsuf dari Yunani, bahwa siapa pun bisa merasa marah. Namun, untuk marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, pengendalian pikiran menjadi kunci utama dalam mengelola emosi kita. Tentunya, hal ini sangat menantang bagi mereka yang masih baru dalam menguasainya. Ingatlah, sebagai pemula kita akan maju menjadi ahli dengan tindakan dan pengamatan kemajuan setiap harinya. Mulai sekarang, ayo kita bertindak dan pantau kemajuan kita setiap hari.


Antara Perasaan dan Pikiran

Sekarang ini, terlalu banyak orang yang memprioritaskan perasaan daripada pikiran dalam mengambil keputusan. Namun, tahukah kalian apa yang akan terjadi jika semua manusia di dunia ini melakukan hal yang sama? Kita akan terpecah-belah, saling bertentangan, dan sulit mencapai kesepakatan karena perasaan setiap orang berbeda-beda dan kompleks.


Bayangkan saja, ada yang ingin melegalkan narkoba hanya karena mereka merasa efeknya baik, tanpa memikirkan dampak buruk yang bisa terjadi. Padahal, ada juga yang menganggap narkoba sangat berbahaya dan merusak kesehatan kita. Yang menganggap narkoba baik merasa seperti itu karena narkoba bisa menghilangkan stres, sedangkan yang menganggap buruk tahu bahwa narkoba justru membuat stres semakin bertambah.


Sementara itu, apakah akan ada titik terburuknya jika kita hanya memiliki pikiran yang sehat tanpa adanya perasaan di dunia ini? Jawabannya jelas, tidak akan ada titik terburuknya. Namun, perlu diingat bahwa perasaan adalah karunia dari Allah yang juga merupakan ujian bagi manusia. Karena perasaanlah yang membedakan satu sama lain dan menghasilkan pemikiran yang beragam.


Jika kita terus berpikir dengan terbuka dan siap untuk belajar dari berbagai perspektif, maka kita bisa mencari cara untuk menyatukan seluruh pemikiran menjadi satu paham yang bisa menyatukan kita bersama. Ada pertanyaan yang sangat penting: apakah mungkin bagi kita untuk memiliki satu pemahaman di dunia ini? Jawabannya, meskipun manusia diberikan perasaan yang dapat memecah belah, namun mungkin saja hal itu bisa tercapai. Oleh karena itu, tugas kita adalah mempelajari dan membayangkan pemikiran mana yang tepat jika sistem yang sama diterapkan di seluruh dunia.


Memang terdengar mustahil dan penuh tantangan. Namun, bahkan jika kita meninggal saat sedang mencari kebenaran absolut, hidup kita tidak akan sia-sia. Intinya, ketika kita mengetahui bahwa satu ditambah satu sama dengan dua, kita perlu mempercayainya untuk sementara waktu agar tidak terombang-ambing tanpa arah. Namun, kita tidak boleh berhenti di situ saja. Kita perlu belajar dari orang-orang yang berpendapat bahwa satu ditambah satu sama dengan sebelas. Kita perlu mencari tahu dan berdiskusi dengan fokus pada pikiran, bukan perasaan, untuk menemukan jawaban yang benar.


Contoh lainnya, kita percaya bahwa bumi itu bulat, namun kita tidak boleh berpuas diri dengan pemahaman tersebut. Kita harus mencari tahu lebih dalam dari orang-orang yang percaya bahwa bumi itu datar. Kita harus berpikir secara rasional dan objektif tanpa membiarkan perasaan ikut campur, karena perasaan dapat merusak kebenaran absolut yang kita cari. Jangan takut menghadapi tantangan, karena hanya dengan mencari kebenaran secara terbuka dan kritis, kita dapat memperluas wawasan kita dan mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia di sekitar kita.


Hanya itu saja untuk postingan kali ini. Prinsip yang saya anut di sini adalah absolutisme. Kalian mungkin dapat menemukan sumber lain yang membahas topik ini secara lebih mendalam, tetapi tidak ada salahnya jika saya juga mengulasnya nanti. Secara garis besar, filosofi absolutisme menekankan keberadaan kebenaran dan moral yang mutlak dan objektif. Artinya, kebenaran tersebut tidak bergantung pada pandangan atau interpretasi individu atau kelompok tertentu. Dalam pandangan absolutis, kebenaran dapat ditemukan secara objektif dan universal, dan hal ini memiliki implikasi etis yang kuat. Setiap individu harus bertindak sesuai dengan kebenaran tersebut tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kepentingan pribadi atau opini masyarakat. Kita harus berusaha mengedepankan prinsip kebenaran dan moral yang mutlak dan objektif dalam setiap tindakan yang kita lakukan. Semoga bermanfaat! 😇

No comments:

Post a Comment

Pages