Halo, sobat Caravel! Setelah perjuangan pulang pergi antara Jakarta dan Tasikmalaya untuk mengurus izin tinggal di Kedutaan Besar Finlandia, akhirnya saya berhasil mendapatkan kartu izin tinggal saya. Langkah selanjutnya, saya hanya perlu memesan tiket pesawat melalui agen yang telah disediakan dan bekerja sama dengan LPDP.
Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang perjalanan dari kampung halaman saya di Tasikmalaya hingga akhirnya tiba di negeri orang di seberang utara. Seperti biasanya, saya juga akan merefleksikan pelajaran apa yang telah saya dapatkan dari perjalanan singkat ini.
Teman Perjuangan Baru |
Packing dan Semuanya Siap!
Salah satu keluarga saya (Bibi) |
Berpamitan ke Rumah Paman dan Bibi
Tidak lupa, saya dan ibu saya menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah beberapa saudara saya untuk berpamitan dengan mereka. Namun, saya hanya dapat bertemu dengan beberapa dari mereka karena sisanya berada di luar kota. Di sini, setiap kali saya mengunjungi rumah saudara saya, mereka hidup dalam keadaan yang berbeda-beda, dan hal ini membuat saya berpikir kembali bahwa mereka bisa bertahan hidup sampai sekarang karena mereka bekerja keras juga, bahkan mereka berani mengambil segala risiko demi mencapai keadaan mereka saat ini.
Hal ini mendorong saya untuk menyadari bahwa kenyataan kehidupan memang begitu pada dasarnya, di mana saya harus berani melangkah, walaupun jauh sekaligus, karena tanpa pengorbanan, saya tidak akan berkembang sama sekali. Jujur saja, saya adalah tipe orang yang sangat mengamati keadaan, bukan hanya berefleksi pada diri saya sendiri, tetapi juga mengamati setiap keluarga saya dan bagaimana fluktuasi kehidupan mereka.
Dengan rasa penasaran, saya seringkali bertanya kepada mereka tentang pengalaman mereka membangun hidup mereka sampai sekarang ini dan masa lalu mereka. Saya berpikir bahwa mereka sudah melalui banyak pengalaman selama hidup mereka sampai mencapai usia yang lebih matang daripada saya, dan di sinilah saya penasaran bagaimana mereka melalui semuanya ini, karena jujur saja, saya sendiri terkadang merasa berjuang keras dan tidak ada habis-habisnya.
On our way to Soekarno-Hatta Airport |
Dari Tasikmalaya ke Tangerang
Akhirnya, hari keberangkatan tiba. Di sini, ibu saya dan saya memastikan bahwa semua barang yang akan dibawa sudah dimasukkan ke dalam koper. Pada saat itu, yang ada dalam pikiran saya adalah bahwa saya bisa ke Eropa lagi untuk kedua kalinya, bahkan berlipat dari yang tadinya dua bulan menjadi 2 tahun di Eropa ini. Entah apa yang terlintas di dalam pikiran saya. Saya memilih Finlandia karena merupakan salah satu negara dengan pendidikan terbaik dan relevan dengan jurusan yang saya ambil. Meskipun banyak universitas lain yang bagus, entahlah, saya benar-benar ingin pergi jauh ke utara, seolah-olah ingin melarikan diri dari keramaian menuju tempat yang lebih tenang dan bisa menyatu dengan alam sendirian.
Terlepas dari semua itu, semuanya sudah siap, dan saya diantar ke terminal bus dari kampung saya ke Singaparna menggunakan mobil Paman saya. Ketika kami sedang dalam perjalanan, ternyata ada yang ketinggalan, yaitu jaket yang baru saya beli kemarin. Ibu saya menyarankan untuk kembali, tetapi saya merasa tidak enak kepada saudara saya, dan perjalanan juga sudah jauh dan tanggung. Jadi, saya bilang kepada ibu saya bahwa tidak perlu khawatir, masalah jaket nanti bisa saya beli di sana ketika sudah sampai di Finlandia. Meskipun sebenarnya dalam hati ada sedikit kekecewaan, yang menguatkan saya kembali adalah bahwa hal yang sudah tertinggal, apalagi sudah tidak dapat dikendalikan, karena jadwal bus akan segera berangkat. Jadi, kuncinya di sini adalah melanjutkan perjalanan dan segera naik bus, karena masalah jaket nanti bisa diatasi, dan itu adalah solusi terbaik menurut saya pada waktu itu.
Ketika saya sudah sampai di terminal bus, saya berpamitan kembali dengan paman saya dan berterima kasih atas pengantaran ke terminal bus. Kami melanjutkan perjalanan dari bus di Singaparna menuju Bandung, karena di sana paman saya yang lain menunggu untuk mengantarkan saya langsung ke bandara menggunakan mobil atasannya. Selama di dalam bus, ternyata ibu saya tidak terbiasa dengan bus jenis ini, sehingga sepanjang perjalanan ia merasa mabuk. Ketika sampai di Bandung, paman saya sempat mengatakan bahwa seharusnya ibu saya tidak perlu mengantar saya ke bandara karena mengetahui situasi bahwa ibu saya tidak terbiasa di bus dan sering mabuk perjalanan. Di sini, saya bingung karena setidaknya ibu saya bisa menyaksikan anaknya pergi untuk menimba ilmu di bandara.
Selama perjalanan dari Bandung ke Tangerang, saya sempat ngobrol-ngobrol dengan ibu saya dan paman saya. Kami membicarakan tentang kerasnya masa lalu mereka, yang semakin menginspirasi saya untuk menjadi lebih kuat dan nekat. Saya sempat mengungkapkan kepada mereka bahwa beban yang saya pikul terasa berat, tetapi ketika mereka mengatakan bahwa mereka pernah menjadi asisten rumah tangga dengan keadaan orang tua yang sudah terpisah, saya menyadari bahwa setiap orang memiliki tantangannya masing-masing. Di sini saya berkaca bahwa apa yang mereka lakukan sekarang adalah hasil dari perjuangan mereka sejak dulu.
Sampai Jumpa Lagi Nanti Semuanya!
Akhirnya, setelah perjalanan yang cukup lama, kami tiba di bandara. Pada saat itu, saya masih ingat bahwa keberangkatan saya akan pada pukul 01.00 dini hari. Saya berusaha menunjukkan senyuman wajah kepada mereka, meskipun dalam hati saya sudah tidak karuan, tetapi memang ini adalah hal yang harus saya jalani. Setelah memarkir mobilnya, paman saya dan ibu saya makan terlebih dahulu, dan setelah itu, kami bersama-sama mengecek gerbang keberangkatan saya. Malam semakin larut, paman saya menyempatkan diri untuk tidur beberapa jam, begitu juga dengan ibu saya yang cukup kelelahan, terutama karena merasa mabuk perjalanan dan tidak nyaman di dalam mobil tadinya. Saya dan ibu saya mencari kursi kosong untuknya tidur sementara. Namun, saya sendiri berjalan ke sana-sini karena tidak bisa tidur. Ketika melihat ibu saya tertidur, dalam hati saya merasa sangat menantang karena tidak tahu, ketika saya kembali, apakah saya masih diberi kesempatan untuk melihatnya di dunia ini atau tidak, karena semuanya adalah keputusan-Nya. Tetapi saya terus mencoba berpikir positif bahwa saya yakin bahwa saya bisa bertemu lagi, bukan hanya di dunia ini, tetapi juga di dunia yang lebih kekal di sana nanti.
Waktu pun semakin mendekati pukul 01.00 dini hari, dan kami langsung pergi menuju tempat check-in untuk menyimpan semua tas koper di bagasi pesawat oleh petugas di sana. Setelah sampai di titik di mana kami harus berpisah, saya menyempatkan diri untuk memeluk mereka. Entahlah, pada saat itu, saya berpikir apakah ini akan menjadi pelukan dan ciuman terakhir kepada mereka, atau semoga ketika saya pulang nanti, saya masih bisa melihat dan memeluk mereka kembali. Jika tidak ditakdirkan bertemu lagi, satu-satunya harapan saya adalah di alam kekal nanti, meskipun banyak pengorbanan yang harus saya lakukan di dunia ini demi bertemu dengan mereka di tempat yang mudah-mudahan lebih baik dan abadi.
Di dalam Pesawat Qatar Airways |
Terbang ke Helsinki dengan Transit di Doha, Qatar
Setelah berpisah dengan orang tua, saya menunggu beberapa jam di bandara karena sempat ada delay selama sekitar 15 menit. Setelah masuk ke dalam pesawat, saya sedikit bernostalgia ketika merasakan pertama kalinya naik pesawat seumur hidup, saat ingin pergi ke Belgia pada tahun 2019. Saya merasa terharu melihat perjuangan saya yang habis-habisan dihajar oleh keadaan, terutama di tahun 2016 yang merupakan puncak keterpurukan dalam hidup saya selama ini. Hasil dari kesabaran itu berbuah manis, dan ini semua adalah pertolongan kecil dari Allah, sehingga saya lebih bisa belajar merefleksikan diri lebih dalam lagi. Saya melihat pemandangan di atas langit dengan awan-awannya yang khas, memukau hati saya setelah 4 tahun lamanya tidak melihat pemandangan langka seperti ini, terutama bagi saya yang berasal dari kampung dan tidak bisa melakukan perjalanan semudah beberapa orang yang dapat berjalan ke negara ini dan itu.
Singkatnya, saya sudah sampai transit di Bandara Doha, ibukota Qatar. Ketika sampai di sini, saya sedikit panik karena khawatir tertinggal pesawat akibat delay di Indonesia. Saya langsung menuju tempat check-in selanjutnya, dan benar saja, sudah banyak orang mengantri di sana. Saya juga menunggu cukup lama dalam antrian tersebut sampai akhirnya pesawat siap berangkat. Ketika sudah di dalam pesawat, saya baru sadar bahwa makanan di pesawat ini berbeda dengan Qatar Airways karena di sini makanannya tidak halal. Saya tidak sempat memesan makanan halal sebelumnya, sehingga selama perjalanan saya hanya minum saja dan memberikan makanan pada penumpang yang ada di samping saya. Setelah sampai di Bandara Helsinki, saya dan beberapa orang lainnya sempat dicek paspor, dan saya juga ditanya tujuan saya di sana. Saya menjawab bahwa saya mahasiswa baru di University of Turku, dan petugas meminta salah satu dokumen yang sayangnya tidak saya bawa, yakni bukti pembayaran kepada universitas. Namun, setelah beliau mengecek kembali melalui situs web, di mana saya sudah melampirkannya, beliau mengizinkan saya untuk menuju gerbang exit.
Pemandangan dari atas |
Dari Helsinki Menuju Turku
Perjalanan belum berhenti di sini karena tempat belajar saya bukan di Helsinki, tetapi berada di kota Turku yang mana cukup jauh dari Helsinki. Saat memesan tiket, sebenarnya saya ingin terbang langsung dari Jakarta ke Turku, tetapi sayangnya tidak tersedia jalur tersebut, jadi saya memilih jalur yang mendarat di Bandara Helsinki.
Di Bandara Helsinki, saya langsung menuju keluar untuk naik kereta menuju Turku. Tiketnya sudah dipesankan oleh salah satu anggota PPI Indonesia dan LPDP awardee, Kak Yuli, sehingga saya tinggal masuk ke dalam kereta api. Jika diperiksa oleh petugas di kereta api tersebut, saya tinggal menunjukkan tiketnya. Saya berangkat pada pukul 4 sore dan sampai pukul 7. Seperti biasanya, pukul 7 di sini masih cerah, berbeda dengan Indonesia yang sudah gelap pada pukul 7 petang hari ini.
Sedikit informasi tentang Kak Yuli, beliau adalah orang yang sangat berjasa buat saya. Ketika saya sudah mendapatkan skor nilai bahasa yang memenuhi standar, saya menghubungi salah satu awardee LPDP yang sudah lulus, yaitu Kak Fasidah, yang menginspirasi saya pertama kali untuk pergi ke Finlandia melalui webinarnya di YouTube. Saya juga diberikan nomor Kak Yuli oleh Kak Fasidah, dan inilah pertama kalinya saya mengontak Kak Yuli. Beliau sangat baik membantu saya mulai dari pengurusan dokumen di website LPDP sampai menjemput saya di Finlandia, menunjukkan cara membuang sampah, mengajak keliling kota Turku, dan hal-hal penting lainnya yang berkaitan dengan kota ini. Sampai saat ini, jika ada hal yang bingung, saya masih berdiskusi dengan beliau, dan saya tidak tahu apa yang harus saya ungkapkan bahwa beliau benar-benar life saver untuk saya untuk beradaptasi di kota ini.
Gathering dengan Kak Yuli (jajaran ke-4 dari saya) dkk Turku Semuanya |
Ketika sudah sampai di tempat tinggal yang baru, saya mulai merasakan vibes yang mirip dengan yang pernah saya rasakan di Belgia, dengan desain rumah yang serupa. Saya kadang tersenyum sendiri dan berkata pada diri sendiri, "Yad, you did it again for the second time now". Selamat datang, Finlandia. Saya siap menghadapi segala tantangan selama dua tahun ke depan. Bismillahirrahmanirrahim!
Itulah perjalanan singkat dari kampung saya, dan pada akhirnya, sampai di kota ujung utara dan menyambut dinginnya negara ini. Tentunya, perjalanan singkat ini bukan hanya sekadar perjalanan bagi saya sendiri. Ada banyak pelajaran yang dapat saya ambil, dan di bawah ini, saya akan menuliskan beberapa pelajaran besar yang menjadi sorotan saya.
Setelah Kehilangan Satu, Saya Harus Meninggalkan Sementara Ini Satu Lagi Harta Berharga Saya |
Bingung! Sedih atau Bahagia
Dulu, setelah saya merasa lega sedikit dengan tuntasnya pengurusan residence permit, saya tinggal memikirkan tiket pesawat. Ibu saya sempat berbicara kepada saya sambil tertawa "Yad, 2 tahun mamah tidak bakal ketemu Yadi" dan saya menjawab, "Ya, mau gimana lagi, Mah. Ini juga demi perbaikan hidup". Padahal di dalam hati, saya juga merasa bingung, apakah saya ini sedih atau bahagia. Pertama, saya merasa sedih karena tentunya dua tahun bukan waktu yang sebentar, apalagi saya hanya memiliki ibu saya saja saat ini dan beliau sudah semakin tua. Namun, di sisi lain, saya berpikir bahwa inilah salah satu mimpi saya yang pada akhirnya tercapai, yaitu mengejar studi di luar negeri yang sudah saya impikan saat saya berada di bangku SMK.
Perasaan semakin kuat, di mana saya mulai harus menerima semuanya yang sudah terjadi, karena ini juga adalah pilihan saya dan demi perbaikan kehidupan di keluarga kami. Dari situ, saya berpikir saya harus mengikhlaskan semuanya, karena saya yakin bahwa alam abadi itu ada, dan saya akan bertemu lebih kekal bersama dengan mereka di sana, Insha Allah. Sebutir iman inilah yang melegakan perasaan saya pada saat itu. Sejujurnya, ada satu hal yang saya benci dari dunia ini, yaitu jika ada kata selamat datang, pasti akan ada waktunya mengatakan selamat tinggal. Momen perpisahan ini adalah hal yang paling menantang untuk saya sendiri, terutama jika orang yang saya tinggalkan tersebut berharga lebih dari sekedar sebuah berlian. Merekalah yang membentuk kepribadian saya menjadi orang yang kuat seperti sekarang ini, karena mereka mengajarkan maknanya kerja keras demi orang yang mereka sayangi, yaitu tidak lain adalah saya sendiri.
Saya memiliki hutang yang sangat besar kepada mereka, bahkan tidak tahu bagaimana harus membayar hutang besar ini kepada mereka, karena saya kira hal-hal yang bersifat materiil pun tidak dapat menggantikan hutang tersebut. Lagi-lagi, sebutir iman terhadap adanya alam kekal ini memadukan semua perasaan yang saya miliki sekarang. Saya berpikir bahwa satu-satunya cara untuk membayar hutang besar ini kepada mereka adalah selalu mendo'akan yang terbaik untuk mereka dan mendidik diri ini untuk terus belajar memperbaiki diri, setidaknya nanti bisa menjadi saksi untuk mereka di hari pengadilan ketika saya menghadap Dzat yang menciptakan saya dan seluruh umat manusia di dunia ini.
Alhamdulilah, Ya Rabb! |
Percaya dan Tidak Percaya
Dari sekian banyak artikel tentang pengalaman saya, kebanyakan saya menuliskan rasa percaya atau ketidakpercayaan pada diri saya saat ini. Perasaan ini terus berada di dalam hati saya karena saya dapat menikmati semua ini berkat hasil perjuangan keras yang sudah saya bangun dari awal dan pertolongan Allah utamanya. Lebih mendalam lagi, saya berpikir bahwa saya sangat beruntung terlahir dari keluarga yang kurang secara finansial, karena ketika berada dalam situasi sekarang yang sudah cukup untuk saya sendiri, saya dapat lebih berempati pada orang lain karena pernah berada dalam posisi tersebut dan mengetahui betapa sulitnya menata kehidupan dalam keterbatasan. Tentunya, yang menjadi ukuran bagi saya bukan hanya hal-hal materiil saja, tetapi juga perkembangan pemikiran, karena saya menemukan banyak hal baru yang membuka cara berpikir saya untuk belajar lebih bijak lagi. Saya menyadari bahwa belajar dengan sungguh-sungguh merupakan kewajiban seumur hidup.
Singkatnya, hidup saya pada waktu itu dipenuhi dengan ambisi dan idealisme, yang pada kenyataannya sangat berbeda sampai saya mencapai suatu titik di mana saya sadar bahwa keinginan yang hanya sebatas dunia tidaklah cukup, karena terlalu banyak kerusakan dan ketidakadilan di dunia ini. Sehingga, saya mulai berharap lebih dari sekadar dunia pada waktu itu. Inilah indahnya ketika saya mengejar ambisi saya, dibarengi dengan Allah juga yang menuntun saya sedikit demi sedikit.
Hal terakhir yang ingin saya katakan adalah rasa terima kasih saya terhadap berbagai tantangan yang datang dalam hidup saya yang diberikan oleh Allah. Tantangan ini tidak lain adalah untuk membuat saya lebih kuat dengan ujian selanjutnya. Inilah ujian selanjutnya yang baru: saya berada di negeri yang baru, hidup yang baru, hari yang baru, dan harus siap menghadapi tantangan-tantangan yang baru juga.
Pemandangan Luar Rumah di Musim Gugur |
Sekali Perjalanan, 3 Cuaca Sekaligus
Pelajaran terakhir yang ingin saya refleksikan dalam perjalanan ini dari kampung saya menuju Finlandia adalah hal yang mungkin terlihat sepele, yaitu cuaca. Saya memperhatikan cuaca ini karena di kampung saya, saya merasakan temperatur yang lebih hangat, tidak begitu terlalu panas. Ketika saya pergi ke Jakarta, saya merasakan temperatur yang sangat panas, juga asap dari polusi udara yang begitu jelas. Kemudian, ketika saya transit di Doha, semua penumpang turun dan diantar menggunakan bus menuju bandara dari pesawat tanpa menggunakan passenger boarding bridge. Ketika saya keluar, saya merasakan temperatur yang luar biasa panas.
Ketika saya berada di dalam pesawat menuju Helsinki, saya bertanya-tanya bagaimana mereka bisa bertahan hidup dengan temperatur yang luar biasa panas seperti itu. Selanjutnya, ketika saya sampai di Finlandia, temperaturnya sangatlah dingin. Di sini, lagi-lagi saya bertanya kepada diri saya sendiri bagaimana orang di sini bisa bertahan hidup dengan cuaca yang ekstrem seperti ini. Lambat laun, saya mempelajari kebiasaan orang di sini untuk menghadapi cuaca dingin, apalagi di saat musim salju atau winter. Saya mulai terbiasa memakai baju tebal, menggunakan sarung tangan, dan perapian hanya ada di beberapa rumah (belum pernah mengalaminya), karena di zaman modern ini mereka kebanyakan menggunakan heater, yang pada waktu itu saya menganggapnya hanyalah sebuah besi untuk dekorasi di sebuah ruangan, dan saya baru sadar itu ketika salah satu teman saya menjelaskan bahwa itu adalah heater dan gunanya untuk menghangatkan temperatur di ruangan. 😂
Dari ketiga kondisi cuaca tersebut, saya mengambil pelajaran besar bahwa ketika saya berambisi untuk bepergian ke berbagai negara, cuaca merupakan salah satu hal penting yang harus dipertimbangkan bersama perlengkapan yang diperlukan. Mulai dari sekarang, saya sudah semakin terbiasa dengan cuaca dingin di Finlandia, tetapi saya masih penasaran bagaimana hidup di Timur Tengah yang memiliki temperatur lebih panas. Apakah saya bisa bertahan di daerah gersang seperti itu? Karena ketika saya berada di Jakarta, saya benar-benar merasa ingin segera keluar dari kota tersebut karena panasnya yang luar biasa. Ini adalah tantangan selanjutnya yang ingin saya alami. Sebenarnya, saya pernah mengalami berada di bawah gelombang panas sekitar 39 derajat Celsius ketika saya berada di Belgia pada tahun 2019. Dalam satu hari tersebut, saya tidak bisa tidur sama sekali dan merasa tidak nyaman. Di sini, saya berkaca mungkin saya lebih cocok di daerah yang lebih dingin daripada daerah yang lebih panas. Namun, bukan berarti saya tidak akan mencobanya. Saya merasa tertantang untuk tinggal di daerah panas seperti beberapa negara di Timur Tengah. Semoga ada rezekinya di masa yang akan datang nanti. Amin ya robbal alamin!
Itulah pengalaman singkat perjalanan saya. Namun, jika saya tuliskan seperti ini lumayan panjang, dan bahkan saya berusaha memikirkan apa saja pelajaran yang sudah saya ambil dari perjalanan tersebut, karena pastinya ada hal-hal menarik yang bisa diceritakan dan dijadikan pelajaran dari setiap momen apa yang kita lakukan. Semoga bermanfaat bagi sobat Caravel semuanya. Sampai jumpa di postingan selanjutnya! 😁
No comments:
Post a Comment