Semangat Baru, Yosh! Semakin Berkobar di Semester 2



Halo teman-teman Caravel, tidak terasa, semester 1 sudah berlalu dan kini saatnya saya melanjutkan ke semester 2. Seperti yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, Cerita Menjadi Mahasiswa Semester Pertama di UNSIL, satu semester terasa sangat cepat. Entahlah, mungkin karena saya terlampau sibuk dengan kesibukan dunia ini sampai-sampai satu semester pun terasa seperti satu hari. Di sini, saya menyadari bahwa umur saya terus bertambah dan tanggung jawab saya semakin berat dan menantang. Yang lalu, biarlah berlalu, tetapi beberapa luka masih terasa sakitnya. Namun, saya tidak bisa membiarkan rasa sakit ini bertambah parah. Saya harus berpikir bagaimana cara menyembuhkannya dan salah satunya, yaitu dengan mengingat pesan inti dari ayah saya. Di postingan kali ini, saya akan menceritakan bagaimana semangat akademik saya semakin menggelora hingga saya memutuskan untuk mengikuti kegiatan organisasi untuk meningkatkan kemampuan soft skills saya. Selain itu, ada banyak kegiatan lainnya yang akan saya ceritakan di semester kedua ini yang membuat saya semakin produktif dan membuat semester ini bahkan terasa semakin cepat.


Kelompok di Pendidikan Bela Negara (PBN)

Belum Selesai, Diuji Fisik dan Mental di Kegiatan PBN

Setelah kegiatan OMBUS selesai, kegiatan dari Universitas belum berhenti di sana. Masih ada kegiatan lain, yaitu Pendidikan Bela Negara (PBN). Kegiatan PBN ini ditujukan untuk meningkatkan rasa nasionalisme para mahasiswa baru. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk melatih mental dan fisik mahasiswa baru. Jujur saja, kegiatan ini bisa dibilang sangat menantang karena mulai dari kedisiplinan dalam segala hal, termasuk berpakaian. Bahkan sekitar pukul 06.00 pagi, semua mahasiswa baru harus segera berkumpul di lapangan. Oleh karena itu, tidak sedikit dari mereka yang kurang tidur dan berangkat pagi-pagi sehingga di siang hari ada beberapa yang merasa kelelahan. Yang saya alami secara pribadi dari kegiatan ini, yang paling menantang adalah melatih fokus saya saat berlatih ketepatan berbaris. Terkadang saya salah dan kurang fokus sewaktu-waktu. 😂


Lebih lanjut, yang paling menantang bagi saya adalah saat di setiap kelompok harus memiliki jargon masing-masing dan kompak dalam berteriak dengan jargon tersebut. Mengapa hal ini menantang bagi saya? Karena saya tidak begitu antusias, terutama jika teriakan tersebut sudah dapat terwakili oleh teman-teman saya. Terkadang saya hanya menggerakkan bibir saja. Dulu saya tidak begitu menyadari kepribadian saya sebagai ENTJ, yang mana saya cenderung lebih selektif terhadap sesuatu karena mementingkan kualitas dibanding kuantitas. Ini bukan berarti teriakan tersebut tidak berarti, tetapi pada saat itu saya merasa sudah cukup terwakili oleh orang lain dan teriakan yang keras bukanlah prioritas saya.


Ini juga bukan berarti saya tidak pernah berteriak atau tidak bisa berteriak, karena saya bisa saja berteriak di tempat dan konteks yang menurut saya relevan. Hal ini membuat saya terlihat seperti seorang introvert, meskipun pada kenyataannya saya berada di antara introvert dan ekstrovert, tetapi lebih cenderung ke ekstrovert. Mengapa membahas introvert dan ekstrovert? Karena ini ada kaitannya dengan perasaan saya yang bingung karena di sisi lain saya ingin ikut rame-rame dengan teman-teman, tetapi di sisi lain energi saya gampang habis seketika dan bisa membuat diri saya sendiri awkward seketika. 😂


Intinya, ENTJs terkadang terlihat mudah kehabisan energi saat berinteraksi dengan orang lain, namun pada saat yang sama mereka sangat ingin berinteraksi dengan orang lain yang dapat memenuhi standar mereka, sehingga topik pembicaraan dapat lebih mendalam dan bermanfaat. Para ENTJ tidak terlalu menyukai percakapan yang dangkal, terutama hanya sekedar basa-basi bagi mereka. Namun, mereka menggunakan basa-basi sebagai langkah pertama untuk membuka pintu ke pembicaraan yang lebih spesifik dan lebih mendalam lagi.


Saya membicarakan tentang tipe kepribadian saya ini karena pada waktu itu saya bertanya-tanya mengapa dari awal OMBUS sampai PBN ini saya tidak begitu nyaman bersosialisasi, walaupun sebenarnya saya punya banyak teman di sana. Tetapi yang ada dalam pikiran saya, mereka hanya seorang kenalan saja bagi saya. Pikiran ini terus menghantui saya sampai pada akhirnya saya mengetahui teori kepribadian MBTI ini. Walaupun ini hanya teori, setidaknya saya memiliki gambaran yang jelas mengapa saya memiliki kepribadian seperti ini sehingga saya bisa lebih merangkul apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan saya.


Contohnya, saya tidak begitu suka bersosialisasi karena malasnya basa-basi yang dangkal memiliki efek negatif, tetapi di samping itu, ada efek positifnya juga. Saya juga lebih sadar bahwa dalam setiap pilihan tersebut pasti ada risiko yang harus kita terima.


Kalau Lapar, Beli Nasgor ke Luar Tengah Malam 😁

Mulai Terbiasa dengan Kehidupan di Perkotaan

Di postingan sebelumnya, saya juga sempat membahas tentang bagaimana saya hidup di perkotaan untuk pertama kalinya dengan segala kelucuannya, Hidup Sendiri di Kota untuk Pertama Kalinya. Di semester 2 ini, saya semakin merasa menjadi bagian dari orang-orang yang tinggal di perkotaan. Mulai dari berbelanja ke Alfamart yang sudah tidak asing lagi bagi saya, sampai merasakan betapa bebasnya kehidupan dalam fase menuju dewasa ini. Di sini, saya mulai berpikir bahwa saya hanya akan tinggal di sini untuk beberapa tahun, dan kenyataan yang akan saya hadapi nanti adalah saya harus kembali bekerja setelah menyelesaikan studi. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan besar yang pernah saya lakukan ketika masih di bangku SMK dulu, yaitu tidak siap menghadapi dunia kerja. Selain itu, semuanya sudah menjadi kebiasaan bagi saya, mulai dari menanak nasi sendiri, makan di warteg, berkumpul dengan teman-teman, dan melakukan aktivitas lainnya.


Dalam hal akademik, di semester 2 ini, tentunya ada beberapa hal yang mengubah saya. Di sini, saya semakin menyadari bahwa saya sekarang adalah mahasiswa dengan logo UNSIL yang menempel di almamater saya, dengan segala tanggung jawabnya. Tentu saja, hal ini menjadi tantangan terbesar bagi saya, karena apa arti di balik semua ini jika saya tidak bisa melakukan kontribusi dan perubahan kepada masyarakat? Hal ini menjadi pemicu untuk saya yang mana di semester selanjutnya saya ingin menjadi sukarelawan mengajar demi kepuasan batin saya. Bagi saya, menjadi volunteer seperti ini, terutama di panti asuhan, layaknya memberikan makanan pada jiwa saya yang saya anggap masih kering dan kelaparan di semester 2 ini.


Menambah Ilmu lewat Online Course di Kosan

Mengambil Matkul Semester 4

Selanjutnya, yang menjadi ciri khas di semester 2 ini, yaitu saya mengambil salah satu mata kuliah yang biasanya diajarkan di semester 4, yakni mata kuliah translation. Pada waktu itu, saya disarankan oleh dosen saya untuk mengambil mata kuliah yang masih dapat saya cerna dengan ringan jika ingin mengambil mata kuliah di semester 4. Entah mengapa, saya tertarik dengan mata kuliah translation ini dan saya meminta kepada dosen saya bahwa saya tetap ingin mengambil mata kuliah ini. Saya menerima segala konsekuensinya, karena jika nilai saya buruk, saya bisa memperbaikinya kembali di semester 4 nanti. Singkat cerita, saya masuk ke dalam kelas di mana semua mahasiswa adalah kakak tingkat saya, bahkan ada salah satu kakak tingkat angkatan 2014 yang masih mengambil mata kuliah ini karena beliau belum sempat mengambilnya di semester 4. Di sinilah saya mulai sedikit panik dan khawatir, tetapi di sini juga saya merasa terdorong bahwa mata kuliah ini tidak main-main tantangannya, sehingga saya harus mempelajarinya lebih dalam dengan cara mengambil beberapa kursus online yang berkaitan dengan penerjemahan untuk mendukung pemahaman saya tentang dunia penerjemahan ini, memahami dasar-dasar yang dijelaskan oleh dosen saya.


Suatu waktu, tiba minggu di mana saya harus mempresentasikan salah satu materi, dan saya mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh dari jauh-jauh hari karena banyak sekali istilah-istilah yang baru bagi saya. Alhamdulillah, ketika saya mempresentasikannya di dalam kelas, saya bisa memberikan contoh-contoh spesifik kepada audiens karena prinsip saya adalah ketika saya mempresentasikan sesuatu yang sangat kompleks, saya tidak ingin saya sendiri terjebak dalam teori yang abstrak dan tidak tahu bagaimana contohnya dalam kehidupan nyata. Saya pernah mengalami saat mempresentasikan sesuatu di depan kelas di mana saya tidak begitu memahami materi yang sangat kompleks, dan pada akhirnya saya seolah-olah menyampaikan kerumitan kepada audiens daripada memberikan pencerahan. Di sinilah saya mengerti bahwa ini mencerminkan ketidakkompetenan saya dalam materi tersebut. Hal ini mendorong saya untuk mempersiapkan presentasi dengan baik, agar terlihat bahwa saya benar-benar memahami apa yang saya jelaskan.


Random Fotbar Ketika Mengikuti Seleksi Masuk Himpunan Mahasiswa

Ikut Organisasi

Salah satu harapan baru di awal semester 2 adalah mengikuti organisasi. Pada awalnya, saya tidak begitu tertarik untuk bergabung dalam organisasi, tetapi dorongan saya datang dari kekhawatiran terhadap masa depan saya, terutama setelah kehilangan salah satu orang tua saya, ibu saya, yang semakin menua sendirian. Saya juga merenungkan ketakutan saya akan mengulangi kesalahan besar yang pernah saya lakukan di SMK yang terus menghantui sampai detik tersebut. Di sinilah saya berusaha keras memperbaiki diri dan keluar dari pengalaman buruk tersebut. Singkatnya, saya bergabung dengan organisasi di sini untuk memperluas relasi, mengasah kemampuan saya melalui praktik langsung, dan menghadapi tantangan yang berbeda dari yang saya hadapi hanya dengan fokus pada akademik.


Salah satu contoh yang paling signifikan adalah kemampuan saya untuk berbicara di depan umum dengan percaya diri, yang saya pelajari melalui pengalaman di organisasi. Yang paling unik dari bergabung dengan organisasi ini adalah kesempatan untuk menjadi ketua pelaksana dalam salah satu program kerja, di mana mental saya benar-benar diuji.


Saat awal perekrutan anggota himpunan mahasiswa, saya menyiapkan CV dan saya masih ingat ketika saya ditanya mengapa ingin bergabung dengan organisasi. Saya menjawab bahwa saya tidak hanya ingin fokus pada akademik, tetapi juga ingin mengasah soft skills saya, terutama yang berkaitan dengan bidang dunia pekerjaan nantinya, dan oleh karena itu saya memilih divisi kemahasiswaan. Saya masih ingat bahwa peserta diberi kesempatan untuk menuliskan dua opsi divisi yang ingin dipilih, tetapi saya memilih satu saja karena divisi kemahasiswaan lebih relevan dengan minat dan bakat saya.


Selama saya bergabung dengan divisi ini, minat saya untuk menjadi konsultan pendidikan semakin kuat, meskipun pada waktu itu saya belum mengetahui istilah "konsultan pendidikan" tersebut. Yang saya tahu adalah bahwa saya menikmati menolong orang-orang dengan masalah akademik mereka dan berbagi pengalaman saya dalam menghadapi hal tersebut. Saya memberikan dukungan kepada mereka yang menghadapi masalah akademik, sehingga mereka tidak merasa sendirian. Pengalaman pahit yang saya alami di masa lalu memiliki manfaatnya karena saya bisa berbagi pengalaman ini dengan orang lain yang sedang mengalami kesulitan serupa. Saya memiliki pikiran bahwa kita bisa keluar dari kesulitan ini bersama-sama.


Menyendiri di Sebuah Bukit

Sakit, Ngurus Sendiri

Hal yang tidak kalah menarik di semester 2 ini adalah saat saya mengalami sakit demam tinggi dan harus mengurus diri sendiri. Sebenarnya, saya bisa menelepon orang tua saya dalam kondisi tersebut, tetapi karena ini pertama kalinya saya ingin menguji diri saya sendiri bahwa saya sudah memasuki fase menuju dewasa di mana saya harus lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang tua. Jika dipikir-pikir, pola pikir ini memang salah karena dalam kondisi apapun kita harus memberitahukan kepada mereka, tetapi yang mendorong saya untuk melakukan hal ini adalah karena saya merasa ibu saya sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya dan saya tidak ingin menambah bebannya.


Singkat cerita, saya mengurung diri beberapa hari dengan mengambil izin dari beberapa mata kuliah sampai akhirnya saya pulih kembali. Setelah sembuh, saya baru menghubungi orang tua bahwa saya beberapa hari yang lalu sakit dan sudah sembuh kembali sekarang. Ibu saya marah karena menurutnya jika ada hal sakit, itu penting untuk diberitahukan kepada orang tua. Di dalam hati, saya juga setuju dengan hal tersebut, tetapi lagi-lagi yang menghambat saya adalah perasaan bahwa ibu saya sudah mengalami cukup derita dan bebannya.


Hal yang membuat pikiran saya semakin tertekan pada saat itu adalah ketika ibu saya seringkali menjenguk saya ke kosan dengan mengendarai motor sendiri dari kampung ke kota dan membawa beras. Pada saat itu, kami berpikir bahwa daripada membeli beras di kota, lebih baik saya membawa beras dari kampung saya untuk menghemat biaya. Namun, permasalahan muncul ketika saya tidak bisa sering pulang ke kampung karena kesibukan berorganisasi dan akademik membuat saya harus fokus di kota. Oleh karena itu, ibu saya seringkali datang menjenguk saya ke Tasik sambil membawa beras.


Hal ini sangat membebani pikiran saya, membuat saya merasa seperti masih menjadi anak yang payah dan belum mandiri dalam hidup. Namun, saya tahu bahwa saya sudah berjuang sekuat tenaga, bahkan harus mengorbankan sesuatu, salah satunya, yaitu mengurangi waktu berkumpul dengan teman-teman, berbeda dengan semester 1 yang lebih intens karena saya sadar bahwa dalam hidup, terkadang kita harus membuat pilihan dan mengorbankan hal-hal tertentu. Saya lebih memikirkan hal tersebut merupakan pilihan yang bijak karena saya lahir dari keluarga yang kurang mampu secara finansial. Di sinilah saya sadar bahwa perjuangan saya harus lebih keras lagi untuk keluar dari situasi sulit ini.


Itulah cerita singkat dari semester 2 saya, di mana semangat akademik saya semakin membara dan saya mulai terbiasa dengan segala hal, baik dari kehidupan sehari-hari hingga kegiatan akademik. Semoga ada hal yang bermanfaat. Sampai jumpa di postingan selanjutnya! 😁

No comments:

Post a Comment

Pages