Aku, Khitanan, dan Sebuah Walkman

Aku, Khitanan, dan Sebuah Walkman


Bercerita tentang masa kecil, setiap orang tentu menggoreskan kisah uniknya masing-masing. Di sini, saya ingin bercerita tentang sebagian kecil dari kenangan itu, yakni tentang sebuah teknologi yang di era sekarang mungkin tidak begitu populer lagi, namun pada masa itu, benda ini mampu menghadirkan gejolak perasaan yang rumit. Seolah-olah getir dan sukacita teraduk menjadi satu.


Seiring bertambahnya usia, pemahaman saya semakin tumbuh dan menyadari bahwa tak ada dominasi di antara dua rasa tersebut. Perasaan bukanlah yang utama di sini, tetapi adanya hikmah yang ingin Allah sampaikan pada saya melalui kisah itu sebenarnya. Siapa yang tak kenal dengan istilah "khitanan," terutama bagi kita yang hidup di negeri mayoritas Muslim, di mana setiap anak laki-laki menjalani momen sakral itu. Namun, khitanan ini bukanlah semata-mata tentang tindakan fisik belaka, melainkan simbol dari kelangsungan tradisi dan identitas. Dan di balik ini, tersimpan tangis dan tawa, serta rasa sakit yang masih saya rasakan sampai sekarang. Bukan saya tidak menerimanya, tetapi betapa menyedihkannya keadaan pada waktu.


Makanan dan Segala Pengorbanannya

Bercerita tentang masa lalu di fase dewasa ini sangatlah berbeda, saya lebih cenderung reflektif terhadap apa yang terjadi di masa lalu dan bagaimana saya berhasil bertahan hingga saat ini. Jika harus saya ceritakan, makanan adalah salah satu hal yang menjadi perhatian saya pada masa itu. Siapa yang tidak tertarik dengan makanan apalagi makanan-makanan ringan untuk anak-anak kecil, ya bukan? Saya merasa tidak bersalah dan bahagia karena pada waktu itu, yang saya tahu hanyalah menikmati hidangan yang ada di depan saya saja.


Di fase dewasa ini, lambat laun, saya mulai sadar bahwa saya kini paham betapa dalamnya perasaan yang dirasakan oleh kedua orang tua saya pada masa itu. Di balik setiap santapan, ada harga yang harus dibayar. Mulai dari ikan yang telah dirawat selama bertahun-tahun, hingga akhirnya menjadi santapan lezat yang saya nikmati sendiri. Kemudian, saya juga teringat akan satu bebek hasil ternak mereka yang akhirnya saya santap juga. Apa lagi coba kenikmatan masa kecil yang saya rasakan ini?


Namun di fase dewasa ini, perasaan tak menentu semakin menguat. Di masa lalu, saya adalah seorang anak kecil yang tak banyak tahu, tapi seiring berjalannya waktu, kesadaran muncul bahwa ada beban berat yang harus mereka pikul setiap hari demi saya. Bahkan, pikiran terus menghantui saya, bagaimana saya bisa membalas pengorbanan itu, walaupun sebenarnya tak mungkin terlunasi. Entahlah, perasaan ini selalu menjadi bayang-bayang dalam pikiran saya. Seolah-olah pikiran berkata, "Segitu saja usahamu yad?" atau "Lihat tuh orang tuamu. Bisa gak kamu seperti mereka?".


Itulah yang mendorong saya untuk terus berusaha, meskipun saya tak tahu dan terkadang takut bahwa saya akan ditinggalkan untuk keduakalinya setelah ayah saya. Bisa dilihat, dari sekedar makanan yang tampak sederhana, pikiran-pikiran rumit muncul di fase dewasa ini. Namun, jika dilihat dari sisi positifnya, semua ini menjadi pendorong semangat untuk terus melangkah ke depan, menjalani hidup dengan tekad yang kuat.


Awal Pagi dan Kebahagiaan Mereka terhadap Saya

Singkat cerita, momen itu akhirnya tiba. Bersama kedua orang tua, saya berangkat ke rumah sakit yang terletak di tengah kota. Tetangga baik hati meminjamkan mobilnya untuk membantu perjalanan kami. Yang masih terngiang dalam ingatan saya adalah betapa polosnya pandangan saya pada waktu itu, seolah dunia dipandang dengan mata penuh rasa ingin tahu. Kami bergerak melintasi pemandangan di kota, dan akhirnya sampai di sebuah klinik, tempat di mana proses khitanan akan berlangsung. Saya bersama orang tua saya masuk ke dalam, dan kemudian saya ditinggalkan seorang diri untuk menjalani proses tersebut. Pada saat itu saya merasakan hanya sedikit sakit dan semuanya beres. Setelahnya, dokter membimbing saya keluar dari klinik, dan di luar sana, orang tua saya menunggu dengan raut wajah penuh harap dan kebahagiaan. Di momen itu, saya merasa terpukul lagi, tapi kali ini oleh cinta dan kebahagiaan mereka. Meskipun saya belum sepenuhnya paham maknanya saat itu.


Dalam situasi keuangan yang pas-pasan, orang tua saya menawarkan hadiah. Mereka menyarankan agar saya memilih mainan yang terjangkau bagi mereka. Di antara berbagai pilihan, ada banyak mainan seperti mobil-mobilan besar yang bisa dikendalikan dengan remote, dan salah satunya menarik perhatian saya. Tanpa alasan yang jelas, saya memilih bukan mobil-mobilan, seakan merasakan beban di balik tawaran mereka. Pilihan saya jatuh pada sebuah walkman.


Ini semua bukanlah hanya sekadar tentang pemberian walkman sebagai hadiah khitanan, tetapi ada hal yang membuat pikiran saya terpukul, yakni bagaimana situasi orang tua saya pada saat itu. Bukan sekadar masalah finansial, melainkan hal-hal yang lebih mendalam yakni kasih sayangnya terhadap saya sampai berusaha membelikan apa yang mereka masih mampu belikan untuk saya.


Perhatian dan kasih sayang mereka pada saya adalah hadiah yang akan menjadi bukti dan saksi yang InshaAllah membantu meringankan beban mereka saat di hari pengadilan nanti. Mengapa? Ketika saya melihat keluar, saya sadar bahwa banyak anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, bahkan tak pernah bertemu sepanjang hidup. Di sinilah saya merasa bahwa nikmat terbesar yang diberikan Allah pada saya adalah orang tua yang hadir. Terutama karena mereka dapat menyaksikan proses khitanan saya, sebuah kewajiban dalam keluarga Muslim, dan mereka mampu memenuhinya. Ini adalah pencapaian luar biasa bagi mereka, sebab saya sadar bahwa lembaran kehidupan terus berputar dan momen indah inilah salah satu halaman yang menjadi bagian dari cerita mereka.


Khitanan dan Segala Perayaannya

Singkatnya, saya telah tiba di rumah, dan meskipun banyak pengalaman yang saya alami saat itu, hanya beberapa momen yang terukir dalam ingatan saya hingga sekarang. Perayaan khitanan adalah hal yang sangat populer di kampung saya, dan saya pun mengalaminya. Salah satu tradisi yang tak terlupakan adalah "nyawer". Pada saat itu, keluarga besar saya, termasuk orang tua, berkumpul di luar rumah untuk merayakan khitanan ini. Saya hanya bisa berbaring karena rasa sakit dari proses khitanan yang mulai terasa. Kemudian, tradisi berikutnya adalah yang disebut "nyecep" di mana warga memberikan uang sebagai tanda penghormatan kepada yang menjalani khitanan. Dari uang yang kami kumpulkan, sesuai kesepakatan orang tua saya, kami membeli sebuah TV tabung kecil, yang pada saat itu dianggap barang mewah, terutama bagi saya. Terkadang, saya berpikir betapa sulitnya kehidupan kami saat itu, hingga harus uluran tangan orang lain untuk membeli sebuah TV. Saat saya mengingat masa lalu ini di fase dewasa sekarang, saya benar-benar menghargai sejauh mana pengorbanan yang mereka lakukan yang tak akan pernah bisa tergantikan.


Ketika saya mengingat baju khitanan yang saya kenakan, saya tahu bahwa orang tua saya harus menyewakannya untuk saya. Saya pernah berbicara dengan ibu tentang ini, dan dia menjelaskan bahwa itu adalah kewajiban orang tua pada umumnya. Jawabannya benar, tapi sebagai anak mereka, saya merasakan makna yang lebih dalam dari setiap pakaian yang saya kenakan saat itu. Ada pula sebuah kue yang mereka belikan untuk saya. Apa makna di balik kue ini? Sama seperti sebelumnya, itu adalah tanda dari pengorbanan mereka. Tapi yang semakin memukul pikiran saya adalah betapa banyaknya pengorbanan yang mereka lakukan untuk membesarkan saya di dunia ini. Terlepas dari apakah perasaan saya benar atau salah, yang pasti saya sangat menyadari dan tak akan pernah melupakan semua pengorbanan mereka untuk saya.


Suatu saat nanti, saya berjanji akan bersaksi di hari pengadilan akhir bahwa mereka pantas mendapatkan jannahnya. Saya merasakan dengan kuat betapa besar pengorbanan dan kesulitan yang mereka alami dalam membesarkan saya hingga saya mencapai fase dewasa ini, dan itu tidaklah mudah. Terlebih lagi, kedua orang tua saya pernah mengalami keguguran sebelum saya lahir, dan ibu saya belum ditakdirkan untuk memiliki anak saat itu. Inilah saya, seseorang yang masih belajar untuk menjadi lebih baik, dan saya berharap serta berusaha untuk bersatu dengan mereka di jannahnya kelak. Amiin ya rabb...


Itu adalah salah satu momen berharga dalam masa kecil saya yang masih saya simpan dengan rasa haru hingga saat ini. Terkadang, senyum mengembang di bibir saya ketika saya mengenang betapa dulu saya begitu bersemangat ingin cepat tumbuh dewasa, merasa bahwa waktu itu saya tak perlu lagi dipenuhi oleh tugas-tugas yang begitu membingungkan di sekolah. Namun, nyatanya, di fase dewasa ini, saya telah merasakan berbagai pengalaman, dari kebahagiaan hingga tantangan yang tak saya duga.


Salah satu hal yang saya syukuri di dunia dewasa adalah kemampuan untuk merefleksikan perjalanan hidup saya, melihat dengan jelas bagaimana pengalaman-pengalaman tersebut telah membentuk saya menjadi pribadi yang saya kenal hari ini, dengan semua kelebihan dan kekurangan yang melekat padanya.


Namun, yang paling berharga di mata saya sekarang adalah tekad untuk terus berusaha memperbaiki diri, untuk menjadi individu yang lebih baik dari hari kemarin. Di bawah ini, saya ingin mencatat beberapa pelajaran berharga yang saya peroleh dari momen khitanan tersebut.


1. Rasa Apapun Menguat Ketika Beranjak Dewasa

Pelajaran pertama yang saya terima adalah bagaimana fase dewasa benar-benar merubah perspektif saya terhadap apa yang telah saya lakukan di masa lalu. Saat saya masih duduk di bangku SMK atau SMP, saya jarang merenungkan dengan mendalam tentang apa yang telah saya lakukan, bahkan apa yang telah orang tua saya lakukan. Pada saat itu, saya hanya menyadari bahwa apa yang telah saya lakukan di masa lalu membentuk diri saya sekarang. Namun, di fase dewasa ini, pemahaman saya terhadap masa lalu menjadi lebih dalam, terutama mengenai segala usaha yang kedua orang tua saya lakukan untuk saya sehingga saya bisa berada di titik ini.


Perasaan campuran, termasuk rasa sedih, malu, bersyukur, bahagia, dan perasaan lainnya, mengisi hati saya. Saya masih heran hingga sekarang, bagaimana mereka berhasil membesarkan saya dengan penuh kesabaran. Ada banyak rintangan dalam perjalanan rumah tangga mereka, dan saya menjadi salah satu beban tambahan bagi mereka. Di fase dewasa ini, saya sering kali didominasi oleh perasaan bersalah dan malu karena saya merasa belum bisa memberikan banyak kepada orang tua saya. Saya pernah berpikir apa yang bisa membuat mereka bahagia? Apakah uang yang berlimpah, mobil mewah, atau rumah impian? Namun, saya menyadari bahwa hal-hal bersifat material itu, meskipun bisa memberikan kebahagiaan, tidak memuaskan dan tidak abadi untuk saya. Terutama ayah saya yang kini telah meninggalkan saya dan saya tak bisa berbuat banyak selain mendoakannya serta berusaha bersedekah kepada orang lain dengan harapan bisa membantu beliau di hari pengadilan nanti.


Dan bagaimana dengan ibu saya? Saya hanya ingin membuatnya mampu pergi ke tanah suci suatu saat nanti, karena saya yakin ini adalah balasan setimpal atas pengorbanan mereka dalam membesarkan saya dari kecil hingga sekarang. Terlebih lagi, saya bahkan tidak peduli jika saya tidak bisa pergi ke tanah suci, yang terpenting adalah ibu saya bisa pergi ke sana, karena saya juga ingin menitipkan doa dan ampunan kepada Allah melalui ibu saya. Saya berharap bahwa dengan cara ini, Allah bisa meringankan beban saya di hari pengadilan nanti. Sejatinya, hari pengadilan ini adalah perkara yang paling menakutkan dan menjadi beban besar dalam hidup saya saat ini.


2. Berusaha Menjadi Saksinya di Hari Pengadilan Nanti

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, saya sering kali merenungkan nasib saya di hari pengadilan mendatang, begitu pula dengan nasib kedua orang tua saya. Menghadap kepada Hakim yang paling adil di seluruh alam semesta adalah beban yang sangat berat bagi diri saya sendiri. Saya hanya seorang manusia biasa yang dengan sombongnya berani menggenggam ujian sebesar ini, menjadi manusia yang penuh dengan dosa. Sepertinya, menangis tidak akan menyelesaikan segala persoalan di hari pengadilan nanti. Terlebih lagi, saya tidak ingin melihat kedua orang tua saya menundukkan wajah mereka karena apa yang telah mereka lakukan di dunia ini, apalagi jika mereka harus menderita dikarenakan kesalahan saya.


Kami tahu, ya Allah, bahwa kami tidak sesuci atau sehebat para nabi dan rasul yang Engkau percayakan tugas-tugas besarnya. Terlalu besar perbedaan antara kami jika dibandingkan dengan mereka. Namun, kami hanya mengharapkan ridho-Mu untuk menyelesaikan semua perkara ini dengan penuh kesabaran. Meskipun dosa-dosa telah memenuhi hidup kami, kami tetap berusaha dan berharap ada sedikit celah untuk mendapatkan ampunan-Mu. Saya berharap kami bisa dipertemukan kembali nanti di tempat yang lebih baik dan abadi.


3. Impian Terbesar di Dunia?

Ketika saya memikirkan impian terbesar dalam hidup ini, jawabannya adalah memberikan manfaat lebih banyak kepada orang lain. Saat saya merenungkan tentang kebahagiaan yang hanya berkaitan dengan hal yang bersifat materiil, saya merasa sungguh egois. Bayangkan, saya menikmati hidangan lezat dan minuman berkualitas. Namun, di lubuk hati saya yang paling dalam, bayang-bayang wajah anak-anak kelaparan, terutama yang berada di daerah konflik, dan situasi keluarga besar saya selalu menghantui saya. Apakah saya sebegitu egoisnya?


Tetapi akhirnya, saya menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu: bersyukur. Rasa syukur mungkin terlihat sepele dan biasa, tetapi sebenarnya itulah tujuan sejati hidup, yaitu hidup dengan kedamaian. Hidup ini bukan hanya tentang memenuhi kepuasan diri saya sendiri, melainkan juga memberikan makna yang lebih dalam ketika kita mampu membuat orang lain merasa lebih baik daripada sebelumnya, sekecil apapun itu. Saya bisa mengatakan semua ini karena saya berasal dari keluarga yang benar-benar merasakan keadaan terpuruk tersebut, dan dari situ saya belajar banyak pelajaran hidup, terutama ketika saya mendapatkan beberapa uluran tangan dari orang lainnya.


4. Meredam Api Kekelaman Masa Lalunya

Terakhir, satu hal yang baru-baru ini saya pelajari adalah kegelapan yang membayangi masa lalu keluarga besar saya, termasuk kedua orang tua saya. Terbukti, pengalaman hidup mereka jauh lebih pahit daripada yang pernah saya alami. Di masa mudanya, mereka harus menghadapi pekerjaan keras fisik. Bahkan ibu saya, bibi saya, dan paman saya pernah menjadi asisten rumah tangga. Sejatinya, tidak ada yang salah dengan pekerjaan tersebut karena itu adalah pekerjaan yang halal. Namun, saya merenungkan sejauh mana keluarga besar saya terpuruknya pada saat itu.


Orang tua mereka sudah berpisah dan hidup terpisah. Dari tujuh bersaudara, beberapa di antaranya bahkan harus dititipkan kepada saudara nenek saya, karena nenek saya sendiri pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga. Selain itu, melihat kondisi keluarga ayah kandung saya, sangat sulit untuk menggambarkan betapa beratnya situasinya. Tentu saja, beberapa anggota keluarga saya berhasil keluar dari kegelapan masa lalu mereka, dan saya adalah salah satu yang telah mengatasi pahit dan perihnya momen-momen yang saya alami ini.


Intinya, saya bersyukur atas segala pengalaman kehidupan yang telah saya alami, baik yang pahit maupun manis. Bagi saya, yang terpenting adalah bagaimana semua momen ini membentuk pengalaman unik dalam hidup saya dan akan menjadi bukti perjuangan saya di hari pengadilan terakhir nanti, ketika saya harus menghadap-Nya. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi semua yang membacanya, dan semoga kita semua selalu diberkahi dalam kehidupan kita. Amiin ya rabb...

No comments:

Post a Comment

Pages